CERITA PENDEK
oleh Linda A. Lestari
Terbit di Harian Haluan Padang edisi 8 Juli 2018
Alang yang kini berusia 14 tahun tengah bermain dengan adik perempuannya, Gina, ketika ayahnya pulang berburu dari hutan. Wajah ayahnya sangat letih, namun ada rona semringah di kedua bola matanya. Biasanya ayah akan pulang setelah petang menggelayuti langit Weringin yang jika sore warnanya hanya semburat oren. Pucat.
Ayahnya, Warsidi adalah seorang taksidermis. Setiap hari dia akan berburu ular, kijang, kadal, dan reptil lain yang ada di hutan, lalu membius hewan-hewan itu hingga teler, menguliti mereka, mengeluarkan jeroannya, hingga pada tahap mengawetkan hewan-hewan itu dengan air keras. Tentu saja, dia tak akan lupa melakukan beberapa ritual tertentu sebelum menjual hewan-hewan tersebut untuk pajangan di hunian calon pembelinya. Biasanya, calon pembeli akan meminta ajian-ajian agar rumah selamat dari gangguan makhluk gaib, maling, atau pun malapetaka lain yang mengancam keharmonisan rumah tangga.
Sore ini Warsidi mendapat seekor ular sendok yang sangat cantik dan langka, dan tentu saja belum pernah didapatnya semasa dirinya menghabiskan tetahunan berburu di hutan yang jaraknya beberapa kilometer dari rumahnya sendiri. Ular yang didapatnya kali ini adalah jenis ular sendok bertubuh panjang, dengan jumbai atau tudung pipih lebar yang berwarna kuning keemasan. Warsidi tahu, ini jenis ular langka. Biasanya dia hanya mendapat seekor ular sendok yang pada umumnya berwarna hitam dengan bercak putih di leher bagian depan.
Ular itu rencananya akan dijualnya pada Kepala Desa sebagai pajangan untuk hunian istri barunya. Tentu saja yang membuat Warsidi semringah adalah harga tinggi yang akan ditawarnya kepada Kepala Desa. Selain ular sendok nan cantik dan seksi itu yang akan menjadi estetika di rumah istri kepala desa, ajian-ajiannya juga akan menjauhkan rumah istri baru kepala desa itu dari malapetaka. Dan malapetaka yang dimaksud di sini adalah sengketa antara istri tua Kepala Desa dengan istri barunya itu. Warsidi hampir cekikikan membayangkannya jika Alang tak terus-terusan membuat adik perempuannya menangis karena berebut mainan.
“Berhenti menganggu adikmu. Kau ini sudah mau akil balig masih menggodai anak kecil saja. Besok-besok, cobalah kau godai gadis-gadis yang suka mandi di kali! Ha ha.” Warsidi meledek Alang, dan tak bergegas mandi sebelum Alang, anak sulungnya yang belum diketahuinya telah mimpi basah semalam itu, pergi mengurusi buruannya untuk segera dibius. Alang segera meninggalkan adiknya bermain sendiri, dan pergi ke halaman belakang, tempat di mana dia dan ayahnya biasa membius reptil yang akan ditaksidermi. Sebelum itu, Alang perlu memberi ular sendok ini beberapa tetes kloroform, cairan bening yang digunakan untuk membius. Setelah dia merasa yakin ular itu terbius, Alang hanya perlu membiarkan makhluk tersebut disimpan dalam ember hitam selama beberapa saat, lalu menutupnya dengan rapat. Setelah tugasnya beres, Alang kembali menemui Gina yang tengah menangis karena pantatnya digigit semut.
Di sumur, Warsidi bersenandung riang. Dia ingin cepat-cepat menengok makhluk cantik yang didapatnya dari hutan. Dia yakin Dewa Utyana telah turut serta dalam perburuannya kali ini. Hanya selang beberapa jam dia masuk ke dalam hutan, ular sendok itu tengah menyambutnya dengan lidah terjulur di antara semak belukar. Warsidi bahagia karena dia yakin ular itu adalah pengejawantahan Dewa Hutan.
Keluar dari sumur, Warsidi menengok sebuah ember hitam yang tergeletak di sisi kandang ayam. Ular cantik nan seksi itu sedang bergelung dalam ketenangannya yang paripurna. Warsidi mendengar seseorang mengucapkan salam dari luar, dengan bergegas dia menemui tamunya tersebut. Rupanya yang datang adalah Songgin, kawan karibnya. Songgin mengabarkan dengan raut wajah yang berbahagia bahwa esok pagi keluarganya akan menggelar perayaan. “Tenda telah dipasang. Panggung telah didirikan. Esok pagi pesta akan digelar!” Songgin memekik dan memeluk Warsidi, kawan dekatnya yang berjarak empat rumah berdinding tembok. Warsidi turut berbahagia atas berita baik itu. Dan dia lebih semringah lagi setelah tahu bahwa Kepala Desa juga akan turut hadir dalam pesta tersebut. Dengan begitu, Warsidi harus segera menuntaskan pekerjaannya malam ini juga.
Alang lupa bahwa dirinya meninggalkan ular sendok itu dalam ember hitam yang tertutup rapat. Ini waktunya dia menguliti makhluk itu dan mengeluarkan jeroannya. Dengan segera dia masuk ke dalam rumah, dan meninggalkan adiknya bermain tanah liat sendirian. Di halaman belakang, lamat-lamat, Alang masih mendengar cakap ayahnya dengan Songgin. Alang menyalakan lampu halaman belakang, karena petang datang menjelang. Dilihatnya, ember hitam yang tutupnya setengah terbuka itu telah kosong.
***
“Kirik !”
“Ki... rik!”
“KIRIK!”
“Kkkkkiir...iikk!”
Namaku Kirik. Aku lahir pada malam gerhana bulan, ketika serombongan anjing dari hutan menyalak-nyalak di depan rumah kami. Kata Bapak, anjing-anjing itu membawa pesan dari Dewa penghuni hutan kayu putih. Anjing-anjing itu adalah penyelamatku ketika ibu ngeden mengeluarkanku dari semak belukar uterusnya. Bapak bilang, kalau tidak ada anjing yang dikirim Dewa Hutan itu, wajahku akan perong, gelap, ireng seperti gerhana malam itu. Lebih buruk lagi, aku akan menjadi sumber malapetaka dan kesialan bagi keluarga. Namun ketika aku lahir secara utuh dengan wajah bercahaya, bapakku meneteskan air mata dan menengadahkan wajahnya ke langit. Untuk berterima kasih kepada Dewa— entah menurutku lebih kepada anjing-anjing itu, Bapak menamaiku Kirik.
Seandainya di usia yang baru lahir itu aku bisa bicara, tentu aku akan protes dengan pemberian nama Bapak. Akan tetapi, aku hanya lupa bahwa aku bukanlah Isa yang lahir bersama lidah ajaib ketika datang ke dunia. Bapak— dan tentu saja orang-orang sini sangat memuja leluhur mereka. Kedamaian, kesejukan, dan keindahan langit pada sore hari di kampung kami merupakan pemberian leluhur yang mesti dijaga. Terutama hutannya, kata Bapak suatu waktu. Hutan kami bukanlah jenis hutan janma mara mati, sato mara mati . Bapak percaya bahwa Dewa Hutan, yang mereka sebut dengan Utyana, mengasihi kami melalui berbagai tumbuh-tumbuhan dan hewan di hutan yang dapat kami ambil kapan saja, dan oleh siapa saja.
Hari pertama masuk sekolah adalah hari terberat dalam hidupku. Bagaimana tidak, ketika anak-anak lain memperkenalkan diri mereka dengan nama-nama bak artis televisi seperti Angelo, Maikel, Gunawan, Helen, dan nama urban lainnya, aku disiksa dengan nama Kirik. Hanya Kirik. Tak ada nama lain di belakangnya. Sehingga ketika aku maju di depan kelas dan mengatakan “hai, teman-teman! Nama saya Kirik,” aku tidak akan meneruskan kalimat itu dengan “panggil saja saya dengan sebutan...”. Sebab hidup tak memberiku pilihan lain.
Beranjak dewasa, aku menyukai seorang gadis dari kampung sebelah bernama Kinanti. Wajahnya tidak cantik. Tapi aku merasa ada sesuatu yang membuatnya tampak menarik dibanding anak-anak gadis dari teman Bapak di blok rumahku. Barangkali yang paling kusukai darinya adalah mata. Matanya selalu tampak mengantuk, tetapi tatapan matanya adalah tatapan mata Dewa. Pelan, namun menikam, seperti ingin mengisyaratkan sesuatu, padahal tidak. Ketika aku menyatakan perasaanku padanya, dia tersipu malu, dan mengatakan bahwa dia juga sebenarnya menyukaiku. Tak sia-sia aku tumbuhkan jambang dan kumisku untuk melumatkan hatinya. Tepat di usiaku yang kedua puluh lima, aku mengajak Kinanti menikah. Kinanti bersedia menikah denganku asal aku mau mengganti nama lahirku. Dia tak ingin tampak tolol di undangan pernikahan yang tercetak, jika semua orang membaca namanya dengan namaku bersanding. Orang-orang akan berpikir bahwa Kinanti berniat menikahi seekor anjing.
Masalah mengganti nama, aku perlu mengobrolkannya dengan Bapak. Bapak sangat percaya nama Kirik akan menjauhkanku dari segala malapetaka dalam hidup. Apalagi nama tersebut diduga membawa nasib baik yang hendak diturunkan Utyana melalui anjing-anjing itu. Selama hidup dua puluh lima tahun, aku tak pernah merasa susah. Meski kuakui, saat ini aku masih bekerja serabutan, membuat kursi; kadang berdagang; kadang merawat kambing-kambing tetangga; kadang juga tidak bekerja, tapi kebutuhan perutku terpenuhi setiap hari. Keluargaku tak pernah kekurangan makan. Perut kami tidak pernah benar-benar menahan lapar menjelang tidur. Dan itu semua, lagi-lagi berkat nama Kirik yang dibawaku sejak lahir.
Ketika aku memberitahu Bapak rencanaku mengawini Kinanti, ada rona bahagia di wajah Bapak. Namun setelah aku memberitahu perihal syarat yang diajukan Kinanti dan keluarganya untuk mengganti namaku, Bapak meradang. “Apa-apaan!” Bentaknya memukul meja yang ada kopi di atasnya. Aku meyakinkan Bapak bahwa hanya Kinanti satu-satunya perempuan yang dapat membahagiakanku. Dan itu mutlak. Tak bisa dibantah. Maka Bapak pergi ke dalam hutan, menggelar tenda, membawa bekal seadanya, dan berhari-hari tak pulang. Aku tak tahu apa yang dilakukan bapakku di hutan. Meski Ibu meyakinkanku bahwa apa yang dilakukan Bapak adalah pengorbanannya untukku, namun aku tahu dari gestur tubuhnya, Ibu cemas juga.
Malam keempat, Bapak pulang dengan wajah semringah. Dia mendapat wangsit bahwa Utyana— yang punya ide gila memberiku nama Kirik dua puluh lima tahun silam itu— mengizinkanku menikah dengan syarat yang diajukan Kinanti. Untuk menghalau malapetaka, nama yang akan kupakai haruslah kebalikan dari namaku sendiri. Aku terkejut, bagaimana mungkin namaku Kirik yang jika dibalik akan tetap Kirik pula. Palindrom. Tak ada pilihan lain, kata Bapak. Kinanti yang harus mengubah namanya menjadi Itnanik.
Pernikahan pun digelar. Sesuai adat setempat, pernikahan dilangsungkan di kediaman pengantin perempuan. Tenda berwarna biru langit terbentang di atas kami, panggung di sisi kanan kami pun ramai oleh biduan dangdut yang tengah bergoyang bersama pemuda-pemuda yang memberi saweran. Menjelang siang, tamu kami semakin banyak. Di antaranya ada Kepala Desa yang tengah duduk menikmati kudapan kacang polong di kursi depan dekat panggung bersama istri baru yang bergelayut manja di lengannya.
Pada saat kami menyalami tamu-tamu undangan, Kinanti, istriku yang kini mengubah namanya menjadi Itnanik merasakan sesuatu yang hangat dan bergerak-gerak di dalam gaunnya. Dia panik, dan memintaku untuk mengantarnya mengecek bagian dalam gaun ke kamar. Ketika aku hendak menggandeng lengannya, mulut Itnanik mengeluarkan buih serupa sabun. Seekor ular sendok berwarna kuning keputih-putihan telah mematuk istriku hingga mati.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar