J
J bukan berarti jelek. J juga bukan berarti jahat apalagi jalang. Melainkan, J adalah dia yang berdiri di persimpangan jalan dengan sebuah gitar Spanyol melengkung di lengannya. Bagiku, J adalah misteri. Misteri yang manis, semanis sirup yang diteguk dikala dahaga dan mengalir lembut melalui kerongkongan yang kering-kerontang.
Hampir setiap hari, aku melihatnya. Melihatnya bersama sebuah gitar Spanyol yang setia mendampinginya berdendang dengan petikan-petikan jarinya di setiap helai-helai senar gitar Spanyol yang sejujurnya__terkadang membuatku iri, karena benda itu selalu berada dalam pelukannya sepanjang hari.
Dulu, kecongkakan juga telah membuatku tak sudi menatap, atau bahkan mungkin meliriknya hanya dengan sebelah mata saja. Dan dulu juga, aku membiarkan sosok itu tertimpa cahaya matahari dan berteman dengan debu.
“Hanya garis keberuntungan yang membedakan
Kami. Aku bernyanyi di atas panggung,
Sedangkan J bernyanyi di atas aspal.”
Aku memakai sunglasses dan gaun hitam dengan payet-payet yang menyala terang. Aku ingat tahun itu. 1998, dimana aku berusia 22 tahun, dan bagi sebagian orang, usia itu adalah usia yang membawa berkah. Aku melintas di hadapan J, membusungkan dada dan memantapkan langkahku dengan sepasang sepatu high heels yang tak akan membuatku tergelincir, apalagi sampai terjatuh kemudian seorang laki-laki akan menopang tubuhku seperti adegan di film-film kuno.
***
Malamnya…
Malam ini, aku akan pergi ke café , menutup mataku dengan kacamata hitam yang tentunya akan menyembunyikan mata biruku, menyembunyikan rambutku di balik topi dan menyiram tubuhku dengan aroma parfum merk ternama, Paris Hilton. Tepat di café itulah aku melihatnya. Melihat J yang sedang asik menggoreskan jari-jarinya di tubuh gitar Spanyol kesayangannya itu. Aku semakin murka melihatnya. Namun, persetan dengan itu, toh, itu hanya benda mati. Buat apa aku harus cemburu pada benda bodoh itu?! Dengusku dalam hati. Aku memang selalu tak dapat menahan suara hatiku sendiri, dan ketika hatiku menggumamkannya, aku merasa puas.
Aku tak melepas kacamata, dan aku biarkan mataku menelanjanginya dengan pandanganku dari balik kacamata hitam.
***
Suatu malam, aku mengikuti arah kemana J akan pulang. Entah itu ke rumah, atau pondok pelayan, aku tak mengerti. Tetapi, ketika dia berhenti di persimpangan jalan, aku melihatnya mencium gitar Spanyol yang masih berada dalam genggamannya sambil sesekali terkekeh dan mengibas-ngibaskan uang dari hasil jerih-payahnya. Aku merasa semakin buta di kegelapan malam; mengikuti arus langkah kaki laki-laki yang hanya ku kenal dengan inisial J yang sama sekali tak pernah aku tahu namanya, nama yang sebenarnya. Aku merasa sangat tolol mengincar seorang laki-laki gembel yang telah membuatku tak dapat lagi membedakan antara A dan B, atas dan bawah, atau pun kiri dan kanan. Semuanya sama saja, rasanya. Aku merasa sangat letih, dan aku membiarkan diriku kehilangannya serta jejak-jejak langkah kakinya yang tak akan pernah aku temukan kembali. Sebuah kehilangan yang panjang, yang tak akan pernah bisa aku temukan, meski dalam peta sekali pun. Karena, kali ini aku mendapatkan bingkisan sebuah peta buta.
***
Dua hari kemudian, aku kembali ke café dengan cahaya lampu suram itu, hingga pada akhirnya, aksi memata-matainya di persimpangan jalan beberapa waktu malam lalu, adalah sebuah perpisahan. Setidaknya, hanya untukku.
Aku hanya duduk menopang dagu, menunggu dan berharap dia akan muncul melalui pintu kecil, di kursi, dimana aku duduk dan dia akan kembali memainkan gitar Spanyolnya. Gitar Spanyolnya yang seksi, yang terkadang membuatku iri. Tiba-tiba, sebuah lagu mengalun, mewakili perasaanku. Sebuah lagu milik Tony Braxton..
“I wish that I was in your arms
Like that Spanish guitar
And you would play me through the night
'Till the dawn
I wish you'd hold me in your arms
Like that Spanish guitar
All night long, all night long
I'd be your song, I'd be your song”
Like that Spanish guitar
And you would play me through the night
'Till the dawn
I wish you'd hold me in your arms
Like that Spanish guitar
All night long, all night long
I'd be your song, I'd be your song”
Indramayu, 07 Januari 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar