oleh Linda A. Lestari
Terbit di Harian Haluan Padang edisi 30 September 2018
Sudah beberapa hari ini saya berhalusinasi. Tembok kamar saya seringkali menangis sendiri. Setiap kali saya pulang kerja dan rebahan di ranjang, saya mendengar tembok itu mengeluarkan suara yang terdengar seperti tangisan; seperti
seseorang yang sedang meratapi kesedihan akibat diputuskan pacar. Apabila saya mematikan pendingin ruangan, suara ratapan itu semakin terdengar jelas. Saya sudah bilang Ibu perihal bunyi-bunyian aneh yang berasal dari balik tembok kamar, tetapi Ibu bilang bahwa bisa jadi itu adalah suara tetangga kami. Tapi tidak mungkin, tembok kamar saya kedap suara. Ketika saya memberitahunya, Ibu mengatakan; ya sudah, nanti dicek.
Beberapa minggu berikutnya, suara ratapan itu semakin terdengar jelas. Saya dibuatnya seperti orang gila. Saya lapor lagi pada Ibu. Lagi-lagi, ibu mengatakan hal yang sama; nanti dicek.
Dari Senin sampai Jumat saya bekerja di perusahaan swasta, berangkat pukul delapan pagi, dan pulang hampir larut malam. Jam mandi malam saya selalu di atas jam sembilan. Alhasil, ketika selesai mandi, tubuh saya selalu menggigil kedinginan. Sejak musim kemarau, saya tak pernah lagi menyalakan pendingin ruangan. Padahal udara selalu panas di luar. Mungkin karena panas kali ini selalu membawa angin yang begitu kencang, tubuh saya menjadi mudah dingin. Atau itu semacam gejala kesepian. Situs psikologi yang setiap pagi saya buka mengatakan demikian. Entahlah, kesepian selalu membawa pikiran aneh.
Setiap kali pulang kerja, saya tak pernah mampir ke mana-mana. Dari kantor, naik mobil langsung pulang ke rumah. Tak pernah mampir beli makan, beli susu, beli rokok, beli kutang. Tak ada aktivitas semacam itu dalam hidup saya. Semua sudah ada yang atur. Tinggal bilang; saya mau teh. Saya mau kue bawang. Saya mau durian. Selang beberapa menit setelah ucapan saya dilontarkan, benda-benda tersebut sudah ada di hadapan saya. Saya bukan penyihir. Saya hanya orang yang terlalu banyak memelihara asisten rumah tangga.
Ngomong-ngomong masalah durian, saya pernah sesekali mencoba untuk beli durian di pinggir jalan. Iseng-iseng. Dalam perjalanan dinas, saya melihat seorang bapak separuh baya menggelar durian di atas trotoar. Dalam hidup saya tak pernah makan durian. Selain karena baunya yang aneh menurut saya, kulitnya yang berduri membuat saya harus mengeluarkan tenaga yang tidak sedikit untuk mengupasnya. Kata bapak itu, durian yang ia jual adalah durian montong. Manisnya sungguh luar biasa. Saya dimintanya mencoba satu. Lalu si bapak mengupaskan satu buah durian untuk saya. Ketika saya coba potongan durian itu, saya mengutuki bapak itu karena bau duriannya yang sangat mengganggu indra penciuman saya. Saya melempar durian itu ke tanah. Karena kasihan, saya beli semua durian dagangannya, sambil pergi mengutuki penjual itu.
Sampai di rumah, saya serahkan semua durian itu kepada ketiga asisten rumah tangga saya. Mereka melahap durian itu dengan kesetanan, katanya rasanya sangat enak. Saya hanya bergidik melihat kelakuan mereka, dan langsung masuk kamar. Malam itu badan saya merasa sangat pegal. Otot-otot saya kram. Ketika saya rebahan di ranjang, saya sudah menduga suara-suara itu muncul lagi. Benar saja. Saya mendengar suara pintu yang dibuka dari luar; Ibu.
“Jana, ini susumu diminum.” Ibu masuk sambil membawa segelas susu. Perut saya masih mual akibat bau durian, sekarang ditambah Ibu yang memintaku minum susu. “Susu ibu hamil selalu membuatku kenyang, Bu. Jauhkan itu dari saya.” Saya menjawab dengan ketus.
“Loh, kamu kan memang sedang hamil....”
“Iya, hamil dengan kondisi yang sangat menyedihkan.” Ketika mengatakannya, saya menggiring Ibu untuk keluar dari kamar, dan mengunci pintu. Ketika saya menengok ke arah meja rias, gelas susu itu ada di sana.
***
Beberapa bulan lalu, saya berencana menikah dengan seorang pria. Dia keturunan Bugis. Segala hal tentang pernikahan telah kami siapkan. Dari mulai tema pernikahan, gaun, dan MUA yang akan mendandani kami di acara resepsi nanti. Perihal harta, jangan ditanya. Tampang, dia berwajah ganteng; sedikit berjenggot, tapi tetap rapi. Ketika melihatnya, kau akan melihat kebijaksanaan. Wajah seorang pemimpin. Tapi saya tidak mencintai pria itu, karena alasan yang sedikit klise; perjodohan. Tapi, 3 bulan menjelang pernikahanku dengan pria itu, mantan pacar saya menghubungi dan meminta untuk bertemu di salah satu kafe. Kami memesan kopi yang sama. Perihal makanan, dia suka sesuatu yang digoreng, maka pilihannya jatuh pada mi goreng dengan kornet di atasnya. Saya memilih tak makan, karena masih kenyang. Kami mengobrol, sedikit banyak tentang masa lalu. Entah bagaimana mulanya, malam itu kami mabuk berat. Saya menginap di tempatnya malam itu. Padahal, dia tahu bahwa dalam hitungan bulan, saya akan jadi istri seseorang. Tapi saya tahu wataknya; dia selalu menganggap sesuatu yang pernah direnggut darinya, suatu hari akan kembali padanya. Malam itu, semesta tengah berpihak pada wataknya.
***
Dua minggu menjelang pernikahan, saya tengah hamil empat minggu. Saya menduga bahwa calon suami saya mengetahuinya. Tentu saja dia tahu bagaimana pertanda wanita tengah mengandung; dia duda, berpengalaman. Lebih sialnya lagi, dia adalah seorang dokter kandungan! Keluarga pria itu mengutuki saya; mengatakan bahwa saya adalah wanita jalang yang lebih pantas tinggal di jalanan bersama anjing-anjing yang kelaparan. Ibu mengusir saya dari rumah. mengatakan bahwa Ibu sudah tak lagi punya muka di depan besannya. Ralat. Di depan calon-besan-yang-gagal-berbesan-akibat-kelakuan-jalang-anak-gadisnya. Ralat kembali. Saat ini saya sudah tidak gadis lagi.
Malam itu saya pergi dari rumah. Terusir. Saya datang mengetuk pintu rumah mantan pacar saya. Tetapi tetangganya mengatakan bahwa dia telah pindah ke Lombok. Saya mencoba menghubunginya, tetapi dia mengganti nomor teleponnya. Maka saya kembali ke rumah Ibu, bersujud di kakinya.
***
Hari ini saya tidak bekerja. Perut saya semakin membuncit. Bos juga mengatakan bahwa saya sudah harus cuti hamil; tak ada lagi pekerjaan. Tak ada lagi hari-hari yang dihadapkan pada berkas-berkas yang penuh angka dan coretan. Setiap hari saya selalu di dalam kamar; mendengar bunyi-bunyian. Kali ini saya sudah tidak asing dengan bunyi ratapan itu. Kamar saya tak berjendela. Tak ada ventilasi. Hanya ada lubang sebesar mata uang koin lima ratusan di dindingnya. Itu pun digunakan sebagai keluar masuknya kabel.
Sudah tiga hari ini ada cicak di dalam kamar. Suara ratapan di balik tembok kamar saja sudah membuat saya gila, ditambah seekor cicak yang tak tahu masuknya dari mana. Mungkin dia masuk melalui lubang sebesar mata uang koin lima ratusan itu, dan tak bisa keluar lagi. Saya sudah berusaha mengusirnya menggunakan sapu, dan membuka pintu kamar. Berhari-hari saya lakukan, tapi tak pernah berhasil. Menyerah, maka saya biarkan dia berada di dalam kamar. Mula-mula dia berada di atap, tetapi setelah dua hari, dia lari dan menempel tepat di atas jam dinding lonceng kamar.
Setiap kali saya selesai mandi dan telanjang, saya merasa cicak itu memerhatikan saya. Sedari kecil, saya selalu berimajinasi bahwa setiap binatang yang ada di dunia ini adalah manusia yang dikutuk. Imajinasi itu muncul setelah saya membaca dongeng Lutung Kasarung ketika sekolah dasar, dan tetap melekat dalam diri saya hingga dewasa. Bisa jadi cicak yang saat ini berada di atap kamar saya adalah seorang manusia yang dikutuk oleh Dewa. Sadar cicak itu masih memerhatikan saya, saya masuk kamar mandi sembari membawa serta baju ganti yang masih bersih.
***
Malam itu, seperti biasa, setelah makan dan minum susu ibu hamil, saya masuk kamar, dan bebunyian dari balik tembok itu semakin melengking di telinga saya. Saya tak mengindahkan, langsung tertidur. Selang beberapa saat setelah saya memejamkan mata, saya melihat seorang pria berwajah tampan tidur di samping saya. Kulitnya sangat putih. Ketika saya menatap ke matanya, dia tersenyum, dan mengatakan “hai”. Saya masih sangat mengantuk, dan kebiasaan setelah bangun tidur, tenggorokan saya selalu tercekat, sehingga tak dapat mengeluarkan suara apa pun, saya memilih tersenyum untuk membalas sapaannya. Ketika saya tersenyum, dia mengelus pipi saya; menyelusup ke dalam selimut bernuansa bunga-bunga milik saya, dan memeluk saya dengan sangat erat. Dia meraba perut saya yang di dalamnya telah ada jantung dan hati. Dia memutar-mutarkan telunjuknya di perut saya; dari pusar ke bawah dada, dari bawah dada ke pusar; begitu terus berulang-ulang.
Ketika telunjuk pria itu berada di atas perut saya, jam dinding di kamar saya berbunyi, pertanda pukul 12 malam. Saya terkejut dengan dentingnya. Tepat di atas jam dinding lonceng, saya tak lagi menemukan cicak itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar