Pages

RUMAH KERTAS: PROSES MENCIPTA TAKDIR SEBUAH BUKU

Kamis, 01 Februari 2018

oleh Linda A. Lestari

(Sumber: http://instagram.com/lalestaridalin)

Judul : Rumah Kertas (Spanyol: La   Casa de Papel)
Penulis : Carlos María Domínguez
Penerbit : Marjin Kiri
Cetakan   : Oktober 2016
Tebal : vi 76 halaman ; 12 x 19 cm
ISBN : 978-979-1260-62-6

Novel ini menyadarkan kita bahwa benda yang terbuat dari setumpukan kertas dapat
merenggut nyawa seseorang dalam seketika, secara tragis. Buku dapat mengubah takdir seseorang. Bluma Lennon, wanita 45 tahun yang berprofesi sebagai pengajar di Universitas Cambridge, mati tertabrak mobil ketika sedang membaca sekumpulan puisi karangan Emily Dickinson. Barangkali Dominguez terlalu berlebihan dalam membuat plot dengan menampilkan kematian seseorang, dan seseorang itu adalah tokoh penting yang akan menjadi pengantar cerita Rumah Kertas. Ironisnya, kematian itu diceritakannya persis di awal cerita.

Pada musim semi 1998, bu dosen Bluma Lennon membeli satu eksemplar buku lawas Poems karya Emily Dickinson di sebuah toko buku di Soho, dan saat menyusuri puisi kedua di tikungan jalan pertama, ia ditabrak mobil dan meninggal.” (Domínguez, hal. 1)

Pembaca tercengang. Apa boleh buat, Dominguez adalah Tuhan dalam ‘rumah’-nya. Kematian Bluma meninggalkan kesan yang mendalam bagi mahasiswa dan rekan-rekan kerjanya.

“Bluma membaktikan hidupnya pada sastra tanpa pernah membayangkan bahwa sastralah yang merenggutnya dari dunia ini.” (hal. 2)

Setelah kematian Bluma, munculah tokoh ‘aku’ yang tak pernah disebut namanya dari awal hingga akhir cerita itu, menjadi seseorang yang melakukan perjalanan gila demi sebuah buku berjudul La Línea de Sombra, terjemahan Spanyol The Shadow Line karya Joseph Conrad yang diterima dalam sebuah paket yang ditujukan atas nama Bluma Lennon. Kenyataan bahwa sampul depan dan belakang buku itu terdapat kotoran berkerak; pinggiran-pinggiran halamannya dilapisi partikel-partikel semen, membuat si tokoh ‘aku’ tak dapat menahan hasrat untuk tidak membuka halaman buku yang dikirim untuk almarhumah temannya itu. Ketika membuka sampulnya, ia mendapati tulisan tangan Bluma dalam sebuah kalimat persembahan.

“Buat Carlos, novel ini telah menemaniku dari bandara ke bandara, demi mengenang hari-hari sinting di Monterrey itu. Sori kalau aku bertingkah sedikit mirip penyihir buatmu dan sudah kubilang sedari awal: kau takkan pernah melakukan apa pun yang bisa mengejutkanku. 8 Juli 1996.” (hal. 5)

Pembaca dapat menyimpulkan, bahwa The Shadow Line karangan Joseph Conrad tersebut telah dihadiahkan Bluma kepada seseorang bernama Carlos. Carlos Brauer memiliki nafsu yang tinggi terhadap buku-buku, boleh dikatakan, ia adalah seorang penggila buku. Dapur, kamar mandi, hingga kamar tidurnya penuh dengan buku-buku, dari lantai hingga ke plafon, dari ujung ke ujung.

“Kamar mandinya berisi buku di tiap dindingnya, kecuali di dinding tempat pancuran air, dan buku-bukunya tak sampai rusak hanya karena ia berhenti mandi air hangat buat mencegah uap. Mau musim panas atau musim dingin, ia selalu mandi air dingin.” (hal. 30)

Kegilaan Brauer yang lain adalah caranya dalam membaca buku. Ia bedah, ia analisis, ia tandai buku-bukunya, hingga marjin bukunya penuh dengan tulisan tangannya sendiri menggunakan spidol berwarna. Barangkali warna menjadi tanda tertentu. Ada kutipan gila dari Carlos Brauer yang keren dan penuh hasrat.

“Aku sanggamai tiap-tiap buku, dan kalau belum ada bekasnya, berarti belum orgasme.” (hal. 32)

Berbeda dengan Brauer, Delgado, sahabatnya mengatakan bahwa ia lebih suka buku yang bersih,

“Saya merasakan suka cita yang luar biasa saat membuka buku dan mendapati tidak ada ujung halaman yang tertekuk.” (hal. 32), (ini saya setuju, hehehe)

Dengan total buku yang lebih dari dua puluh ribu jumlahnya, Brauer tentu saja memerlukan indeks untuk buku-bukunya. Hal menarik yang dapat kita lihat dari kisah Brauer ini adalah ketika ia mengatur tata letak buku-bukunya. Misal, betapa tak terbayangkan jika dirinya menaruh buku Borges bersebelahan dengan Garcia Lorca, yang oleh penulis Argentina itu pernah diejek ‘Andalusia profesional’. Atau ketidakmampuannya untuk menjajarkan buku Martin Amis dengan Julian Barnes, setelah kedua teman ini bermusuhan, sama halnya Vargas Llosa bersebelahan dengan Gabriel García Marquez.

Barangkali plot yang jauh lebih menegangkan dibanding kematian Bluma adalah terbakarnya rumah Carlos Brauer bersama buku-bukunya. Masih untung ada beberapa buku yang dapat diselamatkan, salah satunya adalah novel yang dihadiahkan Bluma kepadanya. Maka Carlos membawa serta buku-bukunya dan berpindah ke tempat dekat laut. Ia membangun sendiri rumahnya dengan buku-buku. Ia campur adukan semen dengan buku-bukunya. Semua orang di dekat laut itu tahu bahwa rumah Brauer tak sepenuhnya semen. Semua kertas-kertas itu menjelma menjadi sebuah rumah yang apabila gelombang laut sedang pasang, air akan masuk ke dalam dan merendam rumah kertasnya. Itulah alasan mengapa The Shadow Line yang dikirimnya kepada Bluma meninggalkan kerak dan semen. Di rumah itu, ia hidup menyendiri, jarang berkomunikasi dengan warga sekitar, dan dianggap sebagai orang aneh.

Meskipun tipis, namun buku ini penuh hal-hal yang tak terduga. Aneh, namun keren. Banyak penulis dan buku-buku yang direkomendasikan di sini. Dimulai dari sastra Amerika Latin, di mana penulisnya berkiprah, hingga sastra dunia. Ada satu kutipan dalam buku ini yang menggambarkan bagaimana manusia memperlakukan buku-bukunya.

“Aku perhatikan  banyak orang mencatat tanggal, bulan, dan tahun mereka membaca sebuah buku: dan dengan itu sebenarnya mereka tengah menyusun sebuah penanggalan rahasia! Yang lain menuliskan namanya di halaman depan sebelum meminjamkan bukunya mencatat kepada siapa mereka meminjamkan dan membubuhkan tanggal pinjamnya. Aku lihat juga buku-buku yang distempel ibarat di perpustakaan umum, atau malah ada kartu yang diselipakan di dalamnya. Tak ada orang yang mau lupa menaruh buku” (hal. 10)

Dari perkataan Delgado dalam kutipan tersebut, ya! Saya mencatat tanggal, bulan, dan tahun ketika membaca buku. Menuliskan nama? Ya. Mencatat nama-nama mereka yang meminjam buku? Yang ini tidak. Buku distempel ibarat perpustakaan umum? Saya tak suka jika halaman buku saya berwarna ungu. Kartu yang diselipkan? Bisa jadi, saya biasanya menaruh sebuah kartu atau stiker di halaman sebuah buku, karena akan sangat menyebalkan jika kita membeli sebuah buku, dan tak mendapati pembatas di dalamnya! Perihal lupa menaruh buku? Saya sering. Tapi saya menyayangi mereka, sehingga saya akan menaruh mereka bersama silica gel agar halamannya tetap bersih dan tak menguning.

Ada satu hal lain yang tak disebutkan Delgado di atas. Barangkali ini hanya dilakukan oleh wanita seperti saya. Menandai halaman pertama setelah sampul sebuah buku, dengan tanda bibir pemiliknya. Saya kerap melakukan ini. Dibanding tanda tangan dan nama pemilik buku, tanda bibir dengan lipstik warna merah akan tampak lebih orisinil dan berkelas, dan tentu saja... tak akan membuat halaman buku menjadi ungu atau biru, seperti yang dikatakan Delgado (lagi), karena buku jelas-jelas mengundang debu.

“... dan tidak sedikit buku dipakai buat menyimpan surat-surat, uang, dan rahasia agar tersembunyi di rak. Orang rupanya juga bisa mengubah takdir buku-buku.” (hal. 57)
Goodbye, signature~

Bagi sebagian orang, buku dijadikan sebagai pajangan; menjadikannya sebagai nilai estetis sebuah ruangan. Selesai membacanya, mereka akan memajangnya di ambalan bersama botol-botol wiski kosong, dan sedikit sentuhan feminis; bunga. Perihal mengubah takdir sebuah buku? Manusia yang bisa. Kita tak mau berakhir seperti Bluma.

Aku mengubah takdir Rumah Kertas menjadi wall decor :)

Aku pun mencipta takdir Neruda


1 komentar:

 
FREE BLOG TEMPLATE BY DESIGNER BLOGS