Pages

TELEMBUK: DARI PANGGUNG DANGDUT, PROSTITUSI, SAMPAI CERAMAH PENGAJIAN

Minggu, 05 November 2017



Judul : Telembuk, dangdut dan kisah cinta yang keparat
Penulis : Kedung Darma Romansha
Penerbit : Indie Book Corner
Cetakan : Mei 2017
Tebal : xiv 414 halaman ; 14 x 20 cm
ISBN : 978-602-3092-65-9

Seorang wanita bergincu dan berbibir tebal dengan rambut panjang tergerai, tengah memegang mikrofon dengan membusungkan dadanya. Itulah potret
yang terdapat dalam sampul novel Telembuk karya penulis kelahiran Indramayu, Kedung Darma Romansha. Satu hal yang terbersit dalam benak ketika pertama kali membaca judul pada novel ini adalah, sesuatu yang erotis, ditambah dengan cover buku yang menampilkan potret wanita seksi. Sepertinya kita harus kembali pada pepatah klasik, don’t judge book by its cover. Jangan coba-coba menilai negatif sebuah buku hanya dari judul dan kovernya. 

Telembuk dalam masyarakat Pantai Utara Jawa, diartikan sebagai 1) Oncom yang difermentasi, biasa kita kenal sebagai oncom dage; 2) Pekerja Seks Komersial (PSK). Barangkali, definisi yang kedualah yang tepat menimbulkan kesan pragmatik di benak pembaca. Novel ini merupakan lanjutan dari novel Kelir Slindet yang terbit tahun 2014 oleh Gramedia. Telembuk dibuka dengan prolog mengenai kisah sebelumnya dalam Kelir Slindet, sehingga pembaca yang belum membaca Kelir Slindet akan dengan mudah mengikuti alur cerita dalam Telembuk.  

Novel yang masuk lima besar Kusala Sastra Khatulistiwa 2017 ini, menyajikan latar sebuah kampung di Indramayu, waktu: sekitar tahun 2000, tokoh utama diperkenalkan: Diva Fiesta, seorang penyanyi dangdut terkenal kelahiran Indramayu, berbadan montok, dan memiliki goyangan yang dapat merobohkan renjana lelaki yang melihatnya.  Meskipun terkenal, Diva memiliki masa lalu yang kelam. Di bagian novel ini, Diva diketahui sebagai seorang gadis bernama Safitri, berasal dari Cikedung, yang menghilang beberapa tahun silam (baca Kelir Slindet) dalam keadaan hamil pra-nikah. Safitri yang tengah hamil tersebut kabur dari rumah dengan menaiki kereta, kemudian dia sampai di Haurgeulis, tempat di mana ia akan menjadi seorang telembuk.

Penamaan Diva Fiesta memberikan kesan yang sesuai dengan karakteristik tokohnya. Dalam bahasa Spanyol, Diva diartikan sebagai perempuan yang sangat berprestasi dalam bidang seni suara, pengertian tersebut akan kita temukan juga dalam KBBI. Sedangkan Fiesta, dalam bahasa Spanyol memiliki arti ‘pesta’. Lain perihal jika kita menjumpai Fiesta dalam sebuah tempat perbelanjaan, Fiesta adalah nama sebuah produk kondom. Penamaan tokoh Diva yang kemudian dalam bagian novel tersebut kita kenal dengan nama Safitri, dilakukan penulis untuk menimbulkan kesan panggung dangdut yang liar dan identik dengan goyangan biduannya.  

Dengan bantuan Mak Dayem yang dulunya adalah seorang telembuk terkenal pada zamannya, Diva berhasil menjadi penyanyi organ tunggal yang terkenal, lebih tepatnya menjadi telembuk terkenal dengan bayaran paling mahal. Tentu saja,  Mak Dayem berhasil melakukannya berkat susuk pemikat yang tertancap di tubuh Diva. Penglaris, Mak Dayem bilang.

Latar prostitusi yang digambarkan dalam novel ini, memang nyata terjadi di Indramayu. Cilege Indah, kebanyakan masyarakat sekitar menyebutnya C.I. adalah salah satu tempat prostitusi terkenal di Indramayu. Tak heran, karena novel Telembuk sendiri lahir dari riset yang dilakukan oleh penulis selama tiga belas tahun bergaul dengan bajingan-bajingan kampung yang suka mabuk di acara organ tunggal, nelembuk, menyaweri biduan dangdut, dan semua kegiatan-kegiatan mereka memang dicatat oleh penulisnya sendiri.

Sungguh ironis bagaimana penulis menyajikan sebuah kisah panggungnya para telembuk dengan panggung para pengkhotbah dalam dua sisi yang berdampingan. Dalam novel ini kita akan menemukan satu bab penuh kalimat erotis di mana dunia prostitusi digambarkan, lalu di bab berikutnya kita akan disuguhkan dengan ceramah agamis melalui tokoh Mukimin (Muhaimin) yang telah menjadi ustaz di kampungnya. Mukimin ini dulunya pernah dekat dengan Safitri, lantaran tidak mendapat restu dari ayahnya, lulus SMP Mukimin mesantren ke Cirebon untuk belajar agama. Sejak mesantren di Cirebon, ia sering diundang ceramah di acara-acara pengajian di kampungnya.

Adanya alienasi, kemunculan para tokoh dalam novel, semakin membuat novel ini menarik, di mana para tokoh memprotes penulisnya mengenai nasib mereka. Tak hanya memprotes, para tokohnya pun melakukan negosiasi dengan penulisnya mengenai nasib, jalan cerita, dan akhir cerita mereka. Meski pada akhirnya penulis muncul dalam bentuk representasi melalui tokoh Aan. Saya sebagai pembaca merasa geregetan ketika membaca bagian ini. Mereka (para tokoh) yang muncul dan terlalu banyak bicara kepada penulisnya, bisa saja merobohkan bangunan-bangunan kisah yang telah disusun pembaca dari awal membaca hingga bagian alinasi itu dimunculkan. Barangkali memang itu yang menjadi daya tarik novel Telembuk, membuat kesan anti-mainstream dalam dunia kepenulisan.

Awalnya, novel ini sempat akan diterbitkan oleh Gramedia, akan tetapi karena Gramedia menyarankan menyensor bagian-bagian erotis novel ini, penulis tidak setuju. Menurut saya pun begitu, apabila bagian-bagian erotis itu disensor, novel ini akan kehilangan soul-nya. Justru kalimat-kalimat erotis yang banyak bertebaran di novel ini menjadi ciri/identitas bagi novel tersebut. Bahkan, menurut saya, erotisme novel Telembuk telah mengalahkan Lolita, sastra klasik erotik milik Vladimir Nabokov.
 
Telembuk tidak hanya menyajikan erotisme, tetapi ia juga merupakan bentuk pergolakan batin seorang wanita melalui tokoh Safitri, yang hidupnya dihabiskan untuk urusan panggung dan ranjang. Tentang seorang wanita yang ingin melawan nasib, tapi nasib lebih dulu menelannya mentah-mentah dengan cara menghanguskan mimpinya. Tentang hilangnya keperawanan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Hilangnya keperawanan bagi semua wanita adalah bentuk keterkutukan nasib.

Safitri yang dulu adalah seorang penyanyi kasidah di bawah pimpinan ustaz Musthafa (kakak kandung Mukimin), harus menukar mimpi panggung kasidahnya dengan panggung dangdut yang keparat. Safitri tidak tahu apakah nasib atau kutukan yang mengharuskannya menjadi seorang telembuk, lantaran ia diperkosa dalam keadaan hamil oleh beberapa pria di dalam kereta.

Saya rasa novel ini pantas menjadi salah satu koleksi di dalam rak buku, karena penulis membeberkan realita masyarakat di sebuah kampung di salah satu kota di Indonesia. Novel ini juga dapat dijadikan sebagai wawasan nusantara melalui kosakata bahasa Jawa Indramayu yang banyak dimunculkan. Selain itu, terdapat sindiran sosial kepada masyarakat melalui tokoh Mukimin, yang berasal dari keluarga dengan ilmu agama yang baik, terlebih lagi ayahnya adalah seorang haji, ditambah pula statusnya yang saat ini adalah seorang ustaz yang suka ceramah di pengajian. 

Walaupun demikian, tokoh Mukimin tidak sesuci yang dibayangkan, ia masih doyan minum-minuman oplosan, berzina dengan pacarnya yang bernama Nini, dan yang paling sering adalah mengumpat dengan kata-kata kasar, seperti ‘Kirik!’ (anjing).


Jika kita mengatakan bahwa Safitri atau Diva atau Susi atau Pipit, yang dari sekian banyaknya penamaan untuk satu orang tokoh itu, adalah representasi dari wanita Indramayu, saya tidak yakin penulisnya begitu tega melakukan hal tersebut.

Jika kita membuka Google dan mengetikkan kata kunci “Telembuk”, yang pertama kali muncul di laman awal adalah seorang wanita, bahkan sebuah akun facebook dengan nama “Aku Telembuk”, yang dalam bahasa Indonesia berarti “Aku Pelacur”, atau “Aku Jablay”, atau “Aku Kimcil” atau “Aku Pelakor”, sebuah istilah yang sedang hits zaman now. Namun sekarang, ketika kita membuka Google dan mengetikkan kata kunci dengan kata “Telembuk”, laman awal yang akan muncul bukanlah seorang wanita, melainkan sebuah buku. Dengan begitu, penulis Kedung Darma Romansha telah memberikan kontribusi besar bagi kota kelahirannya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
FREE BLOG TEMPLATE BY DESIGNER BLOGS