Aku dan dia tak pernah saling bicara. aku dan dia (aku masih terlalu takut untuk memanggilnya 'kami') hanya dapat saling memandang, karena sejak dulu hingga sekarang, aku dan dia tak pernah berkata, meski ketika aku dan dia saling menendang dalam uterus yang sama dan saling berkaitan dengan gen yang sama.
ketika aku menatapnya, dia pun menatapku. tapi, tak pernah aku menyumbangkan suaraku untuknya. begitu pula sebaliknya. untuk saling berkomunikasi, aku dan dia hanya dapat saling bertatap muka dan mengadu pandangan. karena, hanya itu yang dapat dilakukannya, selain berjalan dengan mengaitkan dua buah tongkat di bawah ketiaknya.
###################################################################################
Aku bertemu laki-laki itu di taman kota dekat sekolah, ketika aku sedang berjalan pulang menuju rumah. Laki-laki itu bernama Jeffrey. Satu hal yang aku suka dari laki-laki itu (Aku lebih suka memanggilnya laki-laki itu. Bukan ‘dia’. Karena ‘dia’ hanya aku tujukan kepada dia) adalah ketika laki-laki itu mengajakku berbicara. Aku pun berbicara dengan laki-laki itu, layaknya manusia normal. Sejenak, aku aku dapat ,melupakan dia, yang sejujurnya---setiap kali berada di dekatnya, aku cacat. Lebih cacat dari dia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar