oleh Linda Ayu Lestari
Empat Wajah Srikandi dipublikasi oleh Majalah Kebahasaan dan Kesastraan Harmoni Kantor Bahasa Maluku Utara edisi Desember 2017
Aku merasa ketiga kakakku hidup di dalam diriku. Meski aku tak pernah bertemu mereka. Mereka lebih dahulu berada di dunia, jauh sebelum aku ada. Namun, mereka hanya sebongkah daging dan darah. Mereka tak tahu bagaimana rasanya hidup di dunia. Mereka, hidup dalam diriku.
Dua puluh lima tahun silam, Ibuku hamil. Kehamilan pertamanya sangat membuatnya bahagia. Namun ketika kandungannya berusia dua bulan, bayi perempuan itu ingin melihat dunia lebih cepat dari pada seharusnya. Satu tahun kemudian, Ibu hamil lagi untuk yang kedua kali. Ketika kandungannya berusia empat bulan, kedua bakal bayi itu merosot dari rahim ibu. Ibu sedih karena dia harus kehilangan anak kembarnya.
Jika ketiganya hidup, anggap saja aku menamai kakak sulungku adalah Amba, seorang wanita yang tegar, kuat, dan keras perangainya. Terkadang, ia dapat memilah mana yang benar dan salah, mana yang pantas dan tidak, namun ia tak tahu cara berdandan dan bergaya, dapat dibilang, selera fesyennya kalah telak denganku. Salah satu kelebihan Amba ialah tubuh jangkungnya, badannya yang ideal, karena dia tipe orang yang tidak makan terlalu banyak, dan tidak juga makan terlalu sedikit, semuanya harus serba cukup baginya. Dahinya mengkilat, mencirikan bahwa dia adalah seorang wanita cerdas, dan hidungnya mancung, serta kulit sawo matang dan hal yang membuatku iri adalah otot yang menonjol di lengannya.
Dan kedua kakakku yang lain, si kembar yang tentu saja lahir beberapa tahun setelah Amba, adalah Ambika dan Ambalika. Mereka sosok saudara yang terkadang membuatku risau, mana yang harus kubela, karena keduanya merasuk dalam diriku. Mereka membantuku mencuci pakaian kotor, mengelap lantai setiap sore, membantu ibu di dapur, dan yang paling penting adalah bagaimana cara mengulek sambal agar tangan kita tidak panas karena cabai. Ambika-lah yang jago masak seperti Ibu, ia pandai merasai masakan, hanya dengan menghirup aromanya saja ia tahu bahwa makanan itu tidak enak. Tinggi badan Ambika tidak terpaut jauh dariku, namun dia sedikit lebih pendek dari pada aku. Kulitnya lebih cerah dibanding kulit saudaranya, Ambalika yang cenderung berwarna gurun.
Sedangkan Ambalika, ia mengajariku bagaimana caranya mengelap lantai agar awet dan tidak cepat lengket, yaitu kita harus mengelap ulang lantai menggunakan kain katun kering yang bersih setelah kita bersihkan menggunakan kain pel.
Ambalika memiliki hati yang tegar, sabar dan dapat menerima kondisi apa pun, ia juga pandai menaiki sepeda motor, ia membantuku mengendarai motor hingga kecepatan 100km/jam tanpa rasa takut sedikit pun. Terkadang, aku heran kepadanya.
Dan aku, kau tahu siapa aku? Akulah si bungsu, namaku Srikandi. Aku hidup setelah ketiga kakakku lahir. Akulah Srikandi yang terakhir, yang suka menyendiri, menulis sajak, berkelakuan aneh, dan paling pandai menghabiskan uang untuk berbelanja benda-benda yang aku sukai. Aku tidak pernah merasa risih dengan kehadiran tiga kakakku. Aku menyayangi mereka meski terkadang mereka berisik. Suka menggosip sana-sini, dan ketawa haha hihi dan menganggu para tetangga. Namun, tak ada hal yang lebih menyenangkan selain dapat berkumpul dengan saudara sendiri, bukan?
Aku tak pernah tahu tanggal kelahiran ketiga kakakku yang lain. Biasanya, setiap tahun mereka merayakan hari ulang tahunnya bersamaan dengan tanggal lahirku. Kami berbagi kue, kado dan ucapan selamat ulang tahun dari keluarga dan teman-temanku, yang tentu saja tidak mengenal siapa itu Amba, apalagi Ambika dan Ambalika.
Di usia 22 tahun ini, aku sudah bertunangan dengan seorang pria yang tiga tahun lebih tua dariku. Berarti, usianya adalah setara dengan usia kakak sulungku, Amba. Kami bertunangan satu tahun yang lalu, dan akan segera menikah. Amba pernah berkomentar tentang Lingga, pacarku, bahwa dia akan lebih tampan kalau potongan rambutnya ditata seperti model rambut salah satu personil boy band asal Inggris, Westlife. Tidak terlalu jadul banget, apa? Batinku dalam hati. Selera Amba memang tak pernah cocok denganku.
Namun berbeda dengan Ambalika, dia menyukai Lingga, katanya dia adalah laki-laki yang beruntung karena dapat memilikiku, memiliki kami semua. Kalau aku tidur, Amba dan si kembar selalu bergosip tentang aku dan Lingga. Aku pura-pura tak dengar saja. Meski ada sesuatu yang membuatku tak enak hati; Ambalika mencintai Lingga. Terkadang, ketika aku bersama Lingga, entah itu menonton di bioskop, atau pergi makan malam bersama, Ambalika selalu saja minta keluar, ia ingin mengganti posisiku melalui tubuhku sendiri. Pernah sekali aku biarkan dia muncul, namun aku tak tahu apa yang dia lakukan dengan laki-lakiku. Aku terkurung di dalam jiwaku sendiri, sialan kau Ambalika, batinku dalam hati.
***
Dua tahun kemudian…
Aku tengah mengandung seorang anak manusia. Ya, aku tentu bahagia. Pagi itu, aku dan Lingga yang telah menjadi suamiku sedang duduk di serambi rumah sembari menikmati secangkir kopi. Aku tidak minum kopi, untuk itu aku menyeduh teh yang aku minum cepat-cepat sebelum menjadi dingin.
“Di sini, semakin sempit,” ujarku sambil menunjuk perutku yang semakin membuncit. Lingga memandangku sembari menyeruput kopi hitamnya. “Makanya, berhenti pakai baju ketat”. Pagi itu aku memakai terusan tanpa lengan yang longgar bermotif loreng macan yang merupakan kado pernikahan dari salah seorang teman.
“Bajunya tidak sempit, kok. Tapi perutnya yang sempit.”
“Ngaco, kamu kan sedang hamil.”
Tiba-tiba, perutku sakit. Aku panik, hingga teh yang terhidang di meja tumpah ke lantai. Lingga segera membawaku ke rumah sakit. Namun, sesampainya di rumah sakit, dokter bilang bahwa itu hanya kontraksi palsu. Lantas, aku tidak jadi melahirkan, karena belum saatnya. Tapi, Lingga dan kedua orang tua kami menginginkan aku tetap berada di rumah sakit, jaga-jaga seandainya aku kontraksi betulan.
Malamnya, aku lihat Lingga tertidur di samping ranjang. Wajahnya letih, dan rambutnya yang tak tersisir, jatuh di atas lengannya. Malam itu, Amba bilang kepadaku bahwa dia ingin bicara hal serius denganku. Aku mendengarkan kakak sulungku itu dengan sedikit malas, karena malam juga sudah larut, mataku sudah mulai mengantuk. Cuma, inilah waktu yang tepat untuk bercakap dengan mereka, karena takkan ada orang yang tahu.
“Kalau kami bertiga tidak pergi, bayimu akan mati, dan kau sulit untuk melahirkan.” Amba berbicara lebih pelan dari biasanya.
“Tapi…” aku tak dapat meneruskan kata-kataku.
“Kontraksimu tadi, adalah kontraksi betulan. Bayimu ingin segera keluar dari uterusmu, hanya saja dia kesulitan karena ada kami di dalam tubuhmu. Dia tidak leluasa untuk keluar ke dunia.” Lanjut Amba. Aku diam, sudah lama aku memikirkan hal ini. Perpisahan. Akankah ketiga saudaraku pergi selamanya? Mata Ambika memerah, dia mulai menangis, tangisnya sama seperti ketika ia mengupas bawang di hari pertama ia belajar masak.
“Aku tidak ingin keponakan kami mati seperti kami. Biarkan dia hidup, dan menjadi seperti dirimu, Sri.” Ambalika mulai berbicara. “Aku tidak ingin kehilangan kalian. Kalian adalah saudaraku, aku ingin kita bersama. Aku memang sudah punya keluarga sendiri, namun bukan berarti aku tidak membutuhkan kalian. Akhir-akhir ini aku memang tidak membiarkan kalian menggantikan posisiku di rumah, tapi percayalah, aku ingin kalian tetap tinggal. Di sini, di jiwaku.” Aku mengarahkan jari telunjukku tepat ke arah jantung. Ketika mengatakannya, mataku mulai berkaca-kaca.
“Malam ini, kami akan pergi. Selamat tinggal, Sri. Terima kasih untuk hidup yang begitu indah. Kami menyayangimu.” Amba mengucapkan kalimat ini tanpa ekspresi.
Di samping ranjang, terdengar dengkuran halus, dan aku mengelus rambut laki-lakiku dengan lembut. Sedikit lengket, namun aku dapat merasakan aroma gel yang masih melekat di setiap helainya. “Tak bisakah kalian tetap ada, tanpa membuat bayiku mati?” Tanyaku. Hening, tak ada jawaban satu pun. Aku lihat Ambika masih tersedak-sedak akibat tangisnya yang pecah. Ambalika menenangkannya dengan cara mengelus-elus punggung Ambika, begitulah cara keduanya saling menenangkan. Amba tersenyum, dahinya mengkilat menunjukkan wajahnya yang licik. Aku tahu ekspresi itu. Dia baru saja mendapatkan ide.
***
Esok harinya, aku merasa perutku mulas. Sangat mulas, sehingga aku tak dapat membedakan apakah ini mulas karena ingin buang air di pagi hari, ataukah memang bayiku merengek minta dibebaskan dari semak belukar rahim ibunya. Saat itu pukul enam pagi, dan suasana di rumah sakit sudah sedikit banyak lalu-lalang manusia yang beraroma obat-obatan. Aku ditangani oleh seorang dokter perempuan muda, Dokter Wulan namanya, kurasa usianya sekitar tiga puluhan.
Dokter menyuruhku mengejan, aku mengejan. Dokter memintaku mendorong, aku dorong sekuat tenaga agar apa yang menjadi kesakitan ini segera berakhir. Selang beberapa menit, aku mendengar tangisan kecil, lebih terdengar seperti rintihan. Seorang bayi perempuan mungil, berkulit sawo matang, dan dahi mengkilat. Wajah seorang perempuan cerdas. Aku tersenyum memandanginya. Dialah bidadari kecilku.
Lima belas menit berlalu, aku merasa ada sesuatu yang ingin keluar lagi dari dalam rahimku. Rasa mulasnya lebih mulas dari yang pertama, aku melahirkan lagi. Seorang bayi perempuan, dan disusul lagi dengan seorang bayi perempuan yang ketiga. Aku mendapatkan tiga bayi perempuan. Aku seperti ingin menangis karena rasa sakit yang tak terhingga. Tapi, aku bahagia. Di jendela, aku melihat matahari mulai naik, dan langit begitu cerah. Perawat yang membantu persalinanku datang dan bertanya. “Akan diberi nama apakah ketiga anak kembar Nyonya?”
“Beri saja mereka nama Amba, Ambika, dan Ambalika.” Si perawat tua itu tersenyum, dan di luar sana, matahari semakin terik.
SELESAI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar