Pages

No Puede Hablar Espagnol

Rabu, 14 September 2011

            Dia memang masih cantik seperti dulu. Sama halnya ketika saya, dia, dan ia masih sama-sama mengenakan seragam putih abu-abu. Seragam yang banyak menuangkan kisah tentang segalanya. Cinta, rasa, prestasi, atau bahkan mungkin kebencian.
Bahkan hingga detik ini, di usianya yang ke 24 tahun, dia masih terlihat cantik; lebih tepatnya, semakin cantik, hingga tak heran jika Eza gencar mengejarnya dari dulu, dari beberapa tahun yang lalu hingga saat dimana ia akan menikahinya. Erika memang cantik, untuk itu saya (kurang) menyukainya karena dia cantik, hingga pada akhirnya Eza mencintainya melalui saya. Meminta saya untuk membantunya berbicara dengannya menggunakan bahasa Spanyol karena memang Erika tak pandai berbahasa Inggris, apalagi Indonesia. Dia keturunan Amerika Latin mutlak. Saya memang belajar bahasa Spanyol. Tapi bukan untuk itu tujuannya. Bukan untuk membiarkan orang yang saya cintai jadi mencintai orang lain. Saya sakit. Hati saya terluka. 

            Saya tak kaget ketika mendapat selembar undangan berwarna kuning keemasan di meja kerja saya beberapa waktu yang lalu. Di bagian depannya terpampang jelas nama kawan SMA saya, Maherza Subagyo & Erika Ramirez. Mereka telah menyebar undangan, memesan catering, menyiapkan baju pengantin, mahar, pesta, dan tentunya… mereka bahagia. Sangat. Tapi tidak tahukah bahwa saya merasa terluka. Peduli setan, tak ada orang yang mempedulikan saya!

            Saat itu pukul 10 pagi. Saya ingat betul judul buku yang sedang saya baca di perpustakaan kala itu,. Judulnya How to Make Men Loving You. Saya sangat menikmati buku itu. Karena saya memang benar-benar buta mengenai hal – hal begituan. Yang saya tahu, saya hanya mau belajar bahasa. Itu saja. Saya mencintai bahasa, sama halnya ketika kamu mencintai seseorang dan sulit untuk  melupakannya. Itulah yang saya rasakan selama belajar bahasa. Saya masih tekun membaca saat Eza mendatangi saya di ruang perpustakaan. 

            “Heyy!” sapanya.
            “Eza?” saya buru-buru menutupi cover buku yang sedang saya baca dengan buku pelajaran yang lebih ada manfaatnya.
            “lagi baca apa? Hmm, bisa bantuin gue nggak?”
            “bantu apa, Za?” Tanya saya
            “Lo tau Erika, kan? Anak baru pindahan dari Amerika Latin itu? Gue suka dia.” Ketika dia mengatakan itu, pipi saya memanas. rasanya seperti ada sesuatu yang menancap di jantung saya. Sakit!
            “Lo bisa bahasa Spanyol, kan? Gue mau Lo jadi translator gue.” Lanjutnya.

Lo bisa bahasa Spanyol, kan? Gue mau Lo jadi translator gue.
Lo bisa bahasa Spanyol, kan? Gue mau Lo jadi translator gue.
Lo bisa bahasa Spanyol, kan? Gue mau Lo jadi translator gue.

Kata-kata itu benar-benar mengganggu pikiran saya. Disaat belajar, disaat mendengarkan materi guru, disaat…. ah, pokoknya disaat segala saat!
*
            Kalau dipikir-pikir, nilai saya di mata umum memang biasa-biasa saja dibanding Erika Ramirez, si bule Latino yang punya rambut ikal coklat tua itu. Di masa – masa SMA, saya menghabiskan banyak waktu saya untuk membaca tumpukan buku- buku keparat yang akhirnya menjadikan saya  sebagai Freelance Translator rumahan sampai saat ini. Sangat berbeda sekali dengan Erika yang ceria, talkactive, yeahh meski bahasa Indonesianya tak selancar orang pribumi lainnya, namun, melihatnya tersenyum, sama halnya dengan mendengarnya berkata seribu kata. Benar-benar ajaib. Namun, membiarkan orang yang tidak pernah tahu  bahwa dirinya sedang dicintai jadi beralih mencintai orang lain, bukanlah sesuatu yang magic. Tapi, disaster.

Pestanya megah. Saya seperti sedang berada di sebuah pesta di cerita-cerita klasik karangan Thomas Hardy yang gencar saya baca di masa SMA. Ada punch, sejenis minuman ber-alkohol dengan campuran buah-buahan, biasanya anggur. Saya mengambil satu gelas punch. Saya tidak minum. Tujuannya hanya untuk menyenangkan hati pelayan yang sudah berbaik hati menawari saya minuman. Saya taruh kembali gelas kaca berisi punch itu dan melangkah ke kursi pelaminan.
Eza, panggilan sayang saya untuknya dimasa SMA, mungkin masih berlaku hingga sekarang. Tetapi, mulai hari ini, saya akan mencoba membiasakan diri untuk memanggilnya Maherza. Maherza Subagyo. 

            “Ranum?” Eza tampak kaget
            “Ya! Saya disini.” Saya tersenyum
            Como estás?” Tanya Erika dengan logat Spanyolnya.
            “Estoy bien, gracias.”
“Heyy, senang melihat kalian menikah. Rasanya, seperti menemukan sesuatu yang WAHH. Saya senang menghadiri pesta pernikahan kalian yang megah ini. barusan saya minum punch. Rasanya agak asam, tapi.. ya  sepertinya saya harus belajar menjadi wanita dewasa yang tidak takut mabuk.” Saya tertawa sumbang. Mencoba ceria di luar, namun ketika selesai mengatakannya, dada saya serasa sesak. Saya seperti kehabisan napas. Sakit…

            Lalu, saya menghadiahkan pengantin prianya sebuah kotak kecil dengan kertas pembungkus bergambar gelembung-gelembung beraneka warna. Isinya, kamus saku bahasa Spanyol.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
FREE BLOG TEMPLATE BY DESIGNER BLOGS