Pages

AKU DAN DIA.... (5)

Jumat, 28 Januari 2011

Satu hari itu, aku bekerja sepanjang hari di salah satu toko roti di kota. Begitu pula dengan dia. Dimana ada aku, di situlah dia berdiri. Berdiri dengan dua tangkai tongkat yang selalu dikaitkan di bawah ketiaknya setiap hari. 

Aku bekerja sebagai pelayan dan terkadang membantu bos membuat adonan roti. Sedangkan dia; terkadang aku melihatnya sedang berdiri di belakang meja kasir dan menghitung berapa jumlah uang yang didapat dari hasil penjualan hari itu ketika tanganku sedang sibuk mengoyak adonan roti. Aku miris melihatnya; tapi semua orang tahu, bahwa aku dan dia adalah beda. 
B.E.D.A. empat abjad itulah yang pertama kali membuatku bisa membaca di umur delapan tahun.

AKU DAN DIA.... (4)

Selasa, 25 Januari 2011

Nama laki-laki itu tersemat di hatiku, juga di hati dia. Perbedaan tak bisa memaksaku untuk tidak berbagi. Aku terbagi, dia membagi. Aku benci pembagian, seperrti 1:1 = 1. Angka itu membuat aku dan dia terasa sama. Aku dan dia berbeda. Tak boleh sama. 

Aku berjalan beriringan dengan laki-laki itu, dia tinggal dalam rumah. aku tinggal dalam rumah, dia berjalan beriringan dengan laki-laki itu. Hanya Jeffrey yang menerima aku sebagai aku. Dan hanya Jeffrey pula lah yang menerima dia sebagai dia.

Aku rumit, dia rumit, Jeffrey juga rumit.

Aku mencintai Jeffrey, dia mencintai Jeffrey, dan Jeffrey mencintai aku dan dia.

AKU DAN DIA.... (3)

Kamis, 20 Januari 2011

         Aku dan dia tak pernah saling bicara. aku dan dia (aku masih terlalu takut untuk memanggilnya 'kami') hanya dapat saling memandang, karena sejak dulu hingga sekarang, aku dan dia tak pernah berkata, meski ketika aku dan dia saling menendang dalam uterus yang sama dan saling berkaitan dengan gen yang sama. 

ketika aku menatapnya, dia pun menatapku. tapi, tak pernah aku menyumbangkan suaraku untuknya. begitu pula sebaliknya. untuk saling berkomunikasi, aku dan dia hanya dapat saling bertatap muka dan mengadu pandangan. karena, hanya itu yang dapat dilakukannya, selain berjalan dengan mengaitkan dua buah tongkat di bawah ketiaknya.
###################################################################################                      

                Aku bertemu laki-laki itu di taman kota dekat sekolah, ketika aku sedang berjalan pulang menuju rumah. Laki-laki itu bernama Jeffrey. Satu hal yang aku suka dari laki-laki itu (Aku lebih suka memanggilnya laki-laki itu. Bukan ‘dia’. Karena ‘dia’ hanya aku tujukan kepada dia) adalah ketika laki-laki itu mengajakku berbicara. Aku pun berbicara dengan laki-laki itu, layaknya manusia normal. Sejenak, aku aku dapat ,melupakan dia, yang sejujurnya---setiap kali berada di dekatnya, aku cacat. Lebih cacat dari dia.
 

AKU DAN DIA.... (2)

                Dia memang cantik. Aku bukan dia yang memilki perihal yang sama, wajah cantik. Tapi, ketika laki-laki mendekatinya, mereka selalu pergi ketika melihat kakinya yang hanya ada satu. Kadang, aku bersyukur diciptakan beda. Dari awal, aku selalu menyukai perbedaan.
                Setiap pagi, kecuali akhir pekan, aku dan dia (seperti yang sudah ku bilang, hanya ada aku dan dia. Bukan kami) berangkat ke sekolah bersama-sama. Baju kami pun berbeda. Aku mengenakan rok abu-abu, sedangkan dia, dengan keluarbiasaannya memakai rok berwarna putih bersih. Sampai pada akhirnya, persimpangan jalan memisahkan aku dan dia. Sama seperti ketika dia lahir terlebih dahulu, kemudian aku. Terkadang, aku berhenti sejenak hanya untuk memandang papan yang terbuat dari besi yang ada di halaman depan gedung sekolahnya. Sekolah Luar Biasa. Aku tahu, dia memang luar biasa. Meski pun terkadang, aku tak pernah bisa menerima keluarbiasaannya. Karena sebelumnya, aku tahu dia memandangku dengan kebiasa-biasaan-ku saja.

AKU DAN DIA .... (1)

Selasa, 18 Januari 2011

       Tuhan membedakanku dengan dia. Berlainan dengan dia. Dia yang bagus. Aku yang jelek. Dia yang pintar. Aku yang bodoh. Dia yang pandai. Aku yang malas. Dia yang, aku yang, dan yang dari segala yang ‘yang’.

       Aku dilahirkan dalam tempat yang sama dengan dia. Dari uterus yang sama. Dari sperma yang sama. Dari perlindungan genteng bocor yang sama. Namun, dia menganggapku beda. Aku menganggapnya beda. Seperti A dan B. B dan C. Bukan seperti 1+1=11.

      Dia berambut keriting. Aku berambut lurus bergelombang. Aku pergi ke sekolah, dia pun pergi ke sekolah. Namun dengan tempat yang berbeda, tujuan sama; mencari ilmu.

      Aku dan dia. Aku tak pernah menyebutnya kami. Hanya ada antara aku dan dia, bukan kami,. Dan jika suatu saat aku dan dia harus melahirkan bayi dari sperma yang sama, aku……….

Kamis, 13 Januari 2011








Sepucuk Surat Untuk Rose

Mi muchacaha salvaje, Gadis liarku…

Telah lama kau taruh ruh-ku dalam tangkaian mawar

Yang kian beranjak membusuk

Tanpa kau biarkan ruh-ruh itu terbang bebas

Dan menemukanmu..

Rose, mi muchacha salvaje..

Kau biarkan keranuman mawar itu kian hitam

Hitam pekat!

Dan ketika putik-putik itu telah luruh bersama kebusukan,

Kau pejamkan mata birumu, dan mendesah pelan..

“estas aqui. Conmigo. Por mi sueño”

Mi muchacha salvaje, Rose..

Aku ingin meremas kemerahan hatimu,

jantungmu yang kian lama membatu

aku ingin kehitaman itu berubah merah!

Tanpa ada hitam di atas putih

Atau pun putih di atas hitam

Karena putih hanya kanvas

Kanvas kosong yang kian menyedot keranuman dirimu

Rose, Gadis liarku

J

Jumat, 07 Januari 2011


J
            J bukan berarti jelek. J juga bukan berarti jahat apalagi jalang. Melainkan, J adalah dia yang berdiri di persimpangan jalan dengan sebuah gitar Spanyol melengkung di lengannya. Bagiku, J adalah misteri. Misteri yang manis, semanis sirup yang diteguk dikala dahaga dan mengalir lembut melalui kerongkongan yang kering-kerontang.
            Hampir setiap hari, aku melihatnya. Melihatnya bersama sebuah gitar Spanyol yang setia mendampinginya berdendang dengan petikan-petikan jarinya di setiap helai-helai senar gitar Spanyol yang sejujurnya__terkadang membuatku iri, karena benda itu selalu berada dalam pelukannya sepanjang hari.
Dulu, kecongkakan juga telah membuatku tak sudi menatap, atau bahkan mungkin meliriknya hanya dengan sebelah mata saja. Dan dulu juga, aku membiarkan sosok itu tertimpa cahaya matahari dan berteman dengan debu.
“Hanya garis keberuntungan yang membedakan
Kami. Aku bernyanyi di atas panggung,
Sedangkan J bernyanyi di atas aspal.”

Aku memakai sunglasses dan gaun hitam dengan payet-payet yang menyala terang. Aku ingat tahun itu. 1998, dimana aku berusia 22 tahun, dan bagi sebagian orang, usia itu adalah usia yang membawa berkah. Aku melintas di hadapan J, membusungkan dada dan memantapkan langkahku dengan sepasang sepatu high heels yang tak akan membuatku tergelincir, apalagi sampai terjatuh kemudian seorang laki-laki akan menopang tubuhku seperti adegan di film-film kuno.
***
            Malamnya…
Malam ini, aku akan pergi ke café , menutup mataku dengan kacamata hitam yang tentunya akan menyembunyikan mata biruku, menyembunyikan rambutku di balik topi dan menyiram tubuhku dengan aroma parfum merk ternama, Paris Hilton. Tepat di café itulah aku melihatnya. Melihat J yang sedang asik menggoreskan jari-jarinya di tubuh gitar Spanyol kesayangannya itu. Aku semakin murka melihatnya. Namun, persetan dengan itu, toh, itu hanya benda mati. Buat apa aku harus cemburu pada benda bodoh itu?! Dengusku dalam hati. Aku memang selalu tak dapat menahan suara hatiku sendiri, dan ketika hatiku menggumamkannya, aku merasa puas.
Aku tak melepas kacamata, dan aku biarkan mataku menelanjanginya dengan pandanganku dari balik kacamata hitam.
***
            Suatu malam, aku mengikuti arah kemana J akan pulang. Entah itu ke rumah, atau pondok pelayan, aku tak mengerti. Tetapi, ketika dia berhenti di persimpangan jalan, aku melihatnya mencium gitar Spanyol yang masih berada dalam genggamannya sambil sesekali terkekeh dan mengibas-ngibaskan uang dari hasil jerih-payahnya. Aku merasa semakin buta di kegelapan malam; mengikuti arus langkah kaki laki-laki yang hanya ku kenal dengan inisial J yang sama sekali tak pernah aku tahu namanya, nama yang sebenarnya. Aku merasa sangat tolol mengincar seorang laki-laki gembel yang telah membuatku tak dapat lagi membedakan antara A dan B, atas dan bawah, atau pun kiri dan kanan. Semuanya sama saja, rasanya.  Aku merasa sangat letih, dan aku membiarkan diriku kehilangannya serta jejak-jejak langkah kakinya yang tak akan pernah aku temukan kembali. Sebuah kehilangan yang panjang, yang tak akan pernah bisa aku temukan, meski dalam peta sekali pun. Karena, kali ini aku mendapatkan bingkisan sebuah peta buta.
***
            Dua hari kemudian, aku kembali ke café dengan cahaya lampu suram itu, hingga pada akhirnya, aksi memata-matainya di persimpangan jalan beberapa waktu malam lalu, adalah sebuah perpisahan. Setidaknya, hanya untukku.
Aku hanya duduk menopang dagu, menunggu dan berharap dia akan muncul melalui pintu kecil, di kursi, dimana aku duduk dan dia akan kembali memainkan gitar Spanyolnya. Gitar Spanyolnya yang seksi, yang terkadang membuatku iri. Tiba-tiba, sebuah lagu mengalun, mewakili perasaanku. Sebuah lagu milik Tony Braxton..
“I wish that I was in your arms
Like that Spanish guitar
And you would play me through the night
'Till the dawn
I wish you'd hold me in your arms
Like that Spanish guitar
All night long, all night long
I'd be your song, I'd be your song”


Indramayu, 07 Januari 2011

 
FREE BLOG TEMPLATE BY DESIGNER BLOGS